Minggu, 14 Juni 2009

Seminar Perbankan Syari'ah





[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 11 Desember 2008

Krisis Global dan Peluang Perbankan Syariah


Oleh : Amrullah, MA (disampaikan dalam seminar "Eksistensi Perbankan Syari'ah Menghadapi Krisis Global")

Krisis keuangan yang melanda Amerika Serikat (AS) kini terus mengguncang perekonomian global. Trauma akan krisis ekonomi AS di tahun 1929 yang sering disebut great depression kembali menghantui. Pada saat itu, kesulitan keuangan, meningkatnya angka pengangguran hingga kelaparan menjadi dampak krisis yang sangat nyata. Kini, kejadian Great Depression, seakan akan terulang kembali, dimana banyak saham-saham yang menjadi maskot Wall Street berguguran. Apalagi perusahaan sekelas Lehman Brothers dan Washington Mutual menyatakan kebangkrutan. Belum lagi raksasa Asuransi AIG, sahamnya turun hingga 50 persen.
Menurut pakar ekonomi Islam, penyebab utama krisis adalah kepincangan sektor moneter (keuangan) dan sektor riel yang dalam Islam dikategorikan dengan riba. Sektor keuangan berkembang cepat melepaskan dan meninggalkan jauh sektor riel. Bahkan ekonomi kapitalis, tidak mengaitkan sama sekali antara sektor keuangan dengan sektor riel.
Tercerabutnya sektor moneter dari sektor riel terlihat dengan nyata dalam bisnis transaksi maya (virtual transaction) melalui transaksi derivatif yang penuh ribawi. Tegasnya, Transaksi maya sangat dominan ketimbang transaksi riil. Transaksi maya mencapai lebih dari 95 persen dari seluruh transaksi dunia. Sementara transaksi di sektor riel berupa perdagngan barang dan jasa hanya sekitar lima persen saja.
Menurut analisis lain, perbandingan tersebut semakin tajam, tidak lagi 95 % : 5 %, melainkan 99 % : 1 %. Dalam tulisan Agustianto di sebuah seminar Nasional tahun 2007 di UIN Jakarta, disebutkan bahwa volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation and derivative market) dunia berjumlah US$ 1,5 trillion hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya US$ 6 trillion setiap tahunnya (Rasio 500 : 6 ), Jadi sekitar 1-an %. Celakanya lagi, hanya 45 persen dari transaksi di pasar, yang spot, selebihnya adalah forward, futures,dan options.



Islam sangat mencela transaksi dirivatif ribawi dan menghalalkan transaksi riel. Hal ini dengan tegas difirmankan Allah dalam Surah Al-Baqarah : 275 : Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Sekedar ilustrasi dari fenomena decoupling tersebut, misalnya sebelum krisis moneter Asia, dalam satu hari, dana yang gentayangan dalam transaksi maya di pasar modal dan pasar uang dunia, diperkirakan rata-rata beredar sekitar 2-3 triliun dolar AS atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS. Padahal arus perdagangan barang secara international dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Didin S Damanhuri, Problem Utang dalam Hegemoni Ekonomi),
Dalam ekonomi Islam, jumlah uang yang beredar bukanlah variabel yang dapat ditentukan begitu saja oleh pemerintah sebagai variabel eksogen. Dalam ekonomi Islam, jumlah uang yang beredar ditentukan di dalam perekonomian sebagai variabel endogen, yaitu ditentukan oleh banyaknya permintaan uang di sektor riel atau dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian.
Dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikuti pertumbuhan sektor riel, inilah perbedaan konsep ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional, yaitu ekonomi konvensional, jelas memisahkan antara sektor finansial dan sektor riel. Akibat pemisahan itu, ekonomi dunia rawan krisis, khususnya negara–negara berkembang (terparah Indonesia). Sebab, pelaku ekonomi tidak lagi menggunakan uang untuk kepentingan sektor riel, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang. Spekulasi inilah yang dapat menggoncang ekonomi berbagai negara, khususnya negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi itu, jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor riel.
Robin Hahnel dalam artikelnya Capitalist Globalism In Crisis: Understanding the Global Economic Crisis (2000), mengatakan bahwa globalisasi - khususnya dalam financial market, hanya membuat pemegang asset semakin memperbesar jumlah kekayaannya tanpa melakukan apa-apa. Dalam kacamata ekonomi Islam, mereka meraup keuntungan tanpa ’iwadh (aktivitas bisnis riil,seperti perdagangan barang dan jasa riil) Mereka hanya memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang terdapat dalam pasar uang dengan kegiatan spekulasiuntuk menumpuk kekayaan mereka tan pa kegiatan produksi yang riil. Dapat dikatakan uang tertarik pada segelintir pelaku ekonomi meninggalkan lubang yang menganga pada sebagian besar spot ekonomi.
Efek domino dari krisis ekonomi dan finansial di USA telah merambah ke negara-negara di Eropa dan Asia termasuk Indonesia. Perusahaan-perusahaan multi raksasa banyak jatuh ambruk (collapse), bank-bank internasional dan pemerintahan di berbagai negara di dunia mengucurkan dana dalam jumlah besar ke pasar uang untuk meredakan guncangan krisis.
Krisis ini menunjukkan rapuhnya sistem ekonomi kapitalis yang dianut negara adidaya itu dan mayoritas negara-negara di dunia. Sistem ekonomi ini berevolusi menjadi perekonomian yang didominasi sektor moneter dimana fiat money, fractional reserve requirement, dan interest menjadi pilar utamanya. Ketiganya menciptakan transaksi derivatif di sektor finansial, yakni transaksi berbasis portofolio. Inilah yang menciptakan bubble economy.
Dalam menyikapi perekonomian kapitalis ini, para ekonom dunia terbelah menjadi 2 kubu, yakni pihak yang masih optimis dan satu lagi yang pesimis. Nada optimistis ditunjukkan oleh komentar ekonom dan profesor di University of Texas, James Galbraith dan James S. Henry, penulis buku "The Blood Bankers" yang menilai bahwa sistem perekonomian kapitalis akan tetap eksis namun mengingatkan agar lebih berhati-hati dalam menerapkan regulasi di sektor keuangan dan perumahan. Jika tidak maka krisis finansial ini akan menyebabkan resesi yang cukup serius bahkan depresi.
Sementara pihak yang pesimis disampaikan oleh salah seorang penasihat keuangan Barat, bernama Dan Taylor, dimana ia mempunyai keyakinan bahwa sistem keuangan Barat sudah runtuh dan sistem keuangan Islami akan berjaya (Islamic finance and banking will win).

Perbankan Syariah Tetap Exist dan Aman
Saat ini, krisis yang disebabkan oleh faktor kapitalisme modern secara nyata telah membawa perekonomian dan keuangan ke arah kehancuran yang nyata. Harus diakui bahwa akar persoalan krisis ekonomi global adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor riel. Nilai suatu mata uang akhirnya berfluktuasi secara liar dan tak terkendali. Akibatnya kerugian industri perbankan konvensional diperkirakan hampir mencapai lebih dari 400 milyar dollar akibat krisis di sektor kreditnya. Akan lain soalnya jika sektor finansial tidak melakukan transaksi berlandaskan riba, termasuk transaksi-transaksi maya di pasar uang. Transaksi-transaksi ini jelas-jelas mengfungsikan uang bukan lagi sekedar menjadi alat tukar dan penyimpanan kekayaan, tetapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Keuntungan besar pun menjadi target sasarannya, walaupun juga kadang-kadang bisa merugikan hingga milyaran rupiah.
Di tengah-tengah krisis keuangan global yang melanda dunia dengan sistem ekonomi kapitalisnya, lembaga keuangan syariah kembali membuktikan daya tahannya dari terpaan krisis. Lembaga-lembaga keuangan syariah tetap stabil dan memberikan keuntungan, kenyamanan serta keamanan bagi para pemegang sahamnya, pemegang surat berharga, peminjam dan para penyimpan dana di bank-bank syariah. Bahkan industri keuangan syariah malah mengalami pertumbuhan sebesar 1 triliun dollar.
Kesuksesan bank syariah ini disebabkan para investor lebih nyaman jika menanamkan investasinya di lembaga-lembaga keuangan syariah mengedepankan keadilan, menjauhi riba serta seluruh investasi dan produknya dilakukan secara etis dan bertanggunggung dari sisi sosial.
Terlebih lagi keberadaan industri ini juga sarat dengan moralitas dan nilai-nilai agama Islam, sehingga perkembangannya akan merupakan refleksi dari upaya implementasi nilai-nilai tersebut ke dalam operasional perbankan syariah. Dengan memahami bahwa industri ini membawa sekaligus dua dimensi nilai, yaitu nilai profesional dalam dunia keuangan dan nilai kepatuhan atas prinsip-prinsip syariah, maka cakupan stakeholder industri ini pun menjadi lebih luas.
Melihat situasi ini, seharusnya perbankan syariah dapat menggunakan momentum ini untuk menunjukkan bahwa perbankan syariah benar-benar tahan dan kebal krisis serta mampu tumbuh dengan signifikan. Untuk itu dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk merealisasikannya.
Lembaga keuangan syariah kembali membuktikan daya tahannya dari terpaan krisis keuangan yang melanda dunia. Sementara bank-bank konvensional di seluruh dunia bangkrut atau merugi hingga lebih dari 400 milyar dollar akibat krisis di sektor kreditnya, industri perbankan syariah menunjukkan menunjukkan kebalikannya. Lembaga-lembaga keuangan syariah tetap memberikan keuntungan, kenyamanan dan keamanan bagi para pemegang sahamnya, pemegang surat berharga, peminjam dan para penyimpan dana yang mempercayakan uangnya didepositkan di bank-bank syariah.
Di tengah krisis keuangan global, industri keuangan syariah malah mengalami pertumbuhan sebesar 1 triliun dollar dan dipekirakan akan terus berkembang meliputi investor-investor non-Muslim. Para investor yang trauma akibat krisis keuangan bisa lebih nyaman jika menanamkan investasinya di lembaga-lembaga keuangan syariah, yang menerapkan peraturan ketat berdasarkan hukum Islam dalam memberikan pinjaman. Sistem keuangan berbasis syariah mensyaratkan untuk mengambil keuntungan hanya dari investasi-investasi yang dilakukan secara etis dan bertanggunggung dari sisi sosial. Sistem ekonomi syariah, melarang mengambil keuntungan dari sistem riba, seperti sistem bunga yang diterapkan bank-bank konvensional dan melarang mengambil keuntungan dari investasi-investasi haram seperti perjudian, pornografi dan bisnis babi.
”Krisis ini merupakan titik balik bagi sistem pinjaman konservatif yang sudah usang. Kondisi pasar global sekarang ini memberikan kesempatan yang besar bagi lembaga keuangan Islami untuk menunjukkan apa yang bisa dilakukannya-untuk mengisi gap likuiditas yang terjadi,” kata David Testa, Eksekutif Gatehouse Bank yang memulai operasinya sebagai bank Islam kelima di Inggris, bulan April kemarin.
Asian Development Bank (ADB) mempekirakan, asset-asset lembaga keuangan islami secara global mencapai 1 triliun dollar dengan angka pertumbuhan per tahun sebesar 10 sampai 15 persen. Perkiraan ini bisa lebih tinggi, karena perkembangan pesat industri keuangan Islami telah menarik minat perusahaan-perusahaan dari luar Timur Tengah.
Para analis keuangan sudah banyak yang mengakui bahwa industri keuangan Islami menerapkan sistem yang berbeda yang membuat resikonya relatif kecil. Meski ada juga sejumlah analis yang meragukan keamanan sistem keuangan berbasis syariah. Mereka mengatakan, para komentator terlalu bersemangat dalam mempromosikan keunggulan-keunggulan sistem keuangan Islami sebagai produk yang aman.

Langkah Strategis Optimalisasi
Untuk kasus Indonesia, pencapaian perbankan syariah sungguh membanggakan dan terus mengalami high growth. Berdasarkan laporan akhir tahun 2007, perkembangan perbankan syariah di Indonesia terjaga dengan dengan tingkat yang cukup tinggi dengan rata-rata pertumbuhan lima tahun terakhir mencapai dari 60% pertahun. Laju ekspansi volume usaha perbankan syariah menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu dari 27,8% (yoy) ditahun 2006 menjadi 30,1% (per september 2007). Sementara itu total aset perbankan syariah di tahun 2007 hampir mencapai Rp 30 triliun atau sekitar 1,7 persen dari total aset perbankan nasional. Sementara jumlah industri perbankan syariah terdiri dari 3 Bank Umum Syariah (BUS), 25 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 1053 layanan Syariah di 15 Bank.
Gambaran diatas menunjukkan bahwa potensi perkembangan perbankan syariah di Indonesia sangatlah besar, namun potensi-potensi tersebut kurang di-ekplorasi dan dikembangkan dengan baik dan maksimal. Apalagi dengan momentum krisis keuangan global yang melanda perbankan konvensional semakin dapat menjadi pemicu perkembangan perbankan syariah yang membanggakan.
Usaha optimalisasi pengembangan perbankan syariah harus terus dilakukan dengan beragam program. Diantaranya yaitu implementasi 6 pilar program Akselerasi Pengembangan Perbankan Syariah Nasional 2008 yang dicanangkan Bank Indonesia, yaitu Pertama, penguatan kelembagaan perbankan syariah. Kedua, pengembangan produk & peningkatan layanan bank syariah. Ketiga, intensifikasi edukasi publik dan aliansi mitra strategis. Keempat, peningkatan peran pemerintah dan penguatan kerangka hukum bank syariah. Kelima, penguatan SDM bank Syariah. Keenam, Penguatan pengawasan Bank Syariah. Dengan berbagai asumsi dan upaya yang sungguh-sungguh untuk merealisasikannya dalam semangat program akselerasi, maka diharapkan di tahun 2008, pencapaian perbankan syariah sebesar 5% dari total perbankan nasional bisa dicapai.

Hindari Maghrib
Ekonomi kapitalisme yang rawan krisis itu, tidak melarang praktik maghrib, sedangkan ekonomi Islam sangat keras mengecamnya. Magrib adalah akronim dari maysir, gharar dan riba. Tiga macam praktik terlarang inilah yang menjadi faktor dan biang utama krisis. Maysir adalah kegiatan bisnis yang berbentuk judi dan spekulasi. Spekulasi selalu terjadi di pasar modal dalam bentuk short selling dan margin trading. Sedangkan gharar ialah transaksi maya, drivatif dan karena itu ia menjadi bisnis resiko tinggi). Riba ialah pencarian keuntungan tanpa dilandasi kegiatan transaksi bisnis riel. Di pasar modal seringkali para investor meraup keuntungan tanpa adanya underlying asset, atau sektor riel yang melandasinya. Tujuan investor bukan untuk menanam saham secara riil di sebuah emiten, tetapi semata untuk meraih gain melalui praktik margin trading. Selain itu harus diketahui bahwa di dalam financial market, margin trading dan fiat standart ditetapkan berdasarkan instrumen bunga.
Di pasar uang kegiatan transaksi spekulasi valas semacam transaksi swap, forward dan options selalu terjadi. Semua transaksi tersebut bertentangan dengan syariah, karena mengandung riba. Sementara itu, ekonomi syariah adalah ekonomi yang berusaha menempatkan keseimbangan antara sektor keuangan dan sektor riil (atau bisa disebut economy 1 on 1). Artinya ekonomi yang mengkaitkan secara ketat antara sektor moneter dan sektor reil. Tegasnya, one monetery unit for one real asset. Dalam kerangka itulah Ekonomi Islam mengajarkan kegiatan bisnis riel melalui jual beli, bagi hasil dan ijarah
Jantung dari sistem ekonomi kapitalisme adalah riba. Riba adalah punca dari segala macam krisis. Artinya riba adalah biang utama terjadimya krisis. Kegiatan spekulasi dalam bentuk margin trading dan short selleing di pasar modal adalah riba, karena tanpa dilandasari oleh underlying transaction yang riel. Kegitan traksaksi derivatif di bursa berjangka dan bursa komoditi semuanya adalah riba. Kegiatan spekuasi valas dengan motif untuk spekulasi, bukan untuk transaksi adalah kegiatan ribawi. Sedangkan untuk jaga-jaga (preceutionary) hukumnya makruh.
Ambillah 100-an buku-buku Islam (fiqh, tafsir dan hadits), lalu lihat dan analisis-lah definisi riba. Dari ratusan definisi riba itu disimpulkan, bahwa riba ialah az-ziyadah lam yuqabilha ‘iwadh, artinya, riba adalah tambahan yang diperoleh tanpa didasarkan adanya ‘iwadh. Iwadh ialah transaksi bisnis riel yang terdiri dari 3 macam, yaitu jual beli, bagi hasil dan ijarah, Jual beli contohnya ialah seperti jual beli dengan segala macamnya (jual beli murabahah, salam, istisna), Transaksi bisnis riel juga dapat diwujudkan dengan bagi hasil dan ijarah,. Bagi hasil diwujudkan dengan konsep mudharabah, syirkah, mudharabah musytarakah, musyarakah mutanaqishah dan muzara’ah. Sedangkan ijarah diwujudkan dengan ijarah biasa, ijarah muwazy (paralel), IMBT.
Transaksi mudharabah dan musyarakah serta transaksi jual beli murabahah, salam, istisna’ dan ijarah (leasing), memastikan keterkaitan sektor moneter dan sektor riel. Oleh karena itu pula salah satu rukun jual beli ialah ada uang ada barang (ma’kud ‘alaihi). Dengan demikian, future trading dan margin trading yang tidak diikuti dengan pengiriman barang adalah tidak sah. Jelasnya bahwa konsep ekonomi Islam menjaga keseimbangan sektor riel dan sektor moneter. Begitu pula dengan perbankan Islam yang pertumbuhan pembiayaannya tidak dapat terlepas dari pertumbuhan sektor riel yang dibiayainya.
Tidak boleh ada tambahan (keuntungan) tanpa adanya transaksi bisnis riel. Seorang spekulan mata uang, yang maraup keuntungan dari selisih harga beli dollar dan jualnya, adalah pelaku riba. Dalam ekonomi Islam, uang tidak boleh dijadian sebagai komoditas sebagaimana yang banyak dipraktikkan dewasa ini dalam kegiatan transaksi bisnis valuta asing. Menurut Ekonomi Islam, transaksi valas hanya dibenarkan apabila digunakan untuk kebutuhan transaksi di sektor riel, seperti membeli barang untuk kebutuhan import, berbelanja atau membayar jasa di luar negeri dan sebagainya. Jual-beli valas untuk kepentingan spekulasi, amat dilarang dalam Islam. Jual-beli valas untuk kepentingan spekulatif menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.
Dampak spekulasi valas ialah nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar. Solusinya adalah mengatur sektor finansial agar menjauhi dari segala transaksi yang mengandung riba, seperti transaksi-transaksi maya di pasar uang. Mengambil gain dan keuntungan tanpa didasarkan pada kegiatan bisnis sektor riil adalah riba, baik di pasar uang maupun di pasar modal. Maka, seorang spekulan saham di pasar modal juga telah melakukan praktik riba.bahkan lebih jauh ia telah masuk kepada praktik gharar dan maysir. Demikian pula seorang yang ikut dalam transaksi bursa berjangka juga telah melakukan transaksi ribawi.
Karena ekonomi Islam tidak memisahkan sektor moneter dan sektor riil, maka jumlah uang yang beredar menurut Islam, ditentukan oleh banyaknya permintaan uang di sektor riel atau dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Demikian kata Ibnu Taymiyah di buku Majmu’ Fatawa pada abad pertengahan Islm
Dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikti pertumbuhan sektor riel, Inilah perbedaan konsep ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional, yaitu ekonomi konvensional, jelas memisahkan antara sektor finansial dan sektor riel. Akibat pemisahan itu, ekonomi dunia rawan krisis, Sebab, pelaku ekonomi tidak lagi menggunakan uang untuk kepentingan sektor riel, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang.
Spekulasi inilah yang dapat menggoncang ekonomi berbagai negara,apalagi negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi itu, jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor riel.
Spekulasi mata uang yang mengganggu ekonomi dunia, umumnya dilakukan di pasar-pasar uang. Pasar uang di dunia ini saat ini, dikuasai oleh enam pusat keuangan dunia (London, New York, Chicago, Tokyo, Hongkong dan Singapura). Nilai mata uang negara lain, bisa saja tiba-tiba menguat atau sebaliknya. Lihat saja nasib rupiah semakin hari semakin merosot dan nilainya tidak menentu.
Di pasar uang tersebut, peran spekulan cukup signifikan untuk menggoncang ekonomi suatu negara. Lihatlah Inggris, sebagai negara yang kuat ekonominya, ternyata pernah sempoyongan gara-gara ulah spekulan di pasar uang, apalagi kondisinya seperti Indonesia, jelas menjadi bulan-bulanan para spekulan. Demikian pula ulah George Soros di Asia Tenggara tahun 1997..
Bagi spekulan, tidak penting apakah nilai menguat atau melemah. Bagi mereka yang penting adalah mata uang selalu berfluktuasi. Tidak jarang mereka melakukan rekayasa untuk menciptakan fluktuasi bila ada momen yang tepat, biasanya satu peristiwa politik yang menimbulkan ketidakpastian.
Menjelang momentum tersebut, secara perlahan-lahan mereka membeli rupiah, sehingga permintaan akan rupiah meningkat. Ini akan mendorong nilai rupiah secara semu ini, akan menjadi makanan empuk para spekulan. Bila momentumnya muncul dan ketidakpastian mulai merebak, mereka akan melepas secara sekaligus dalam jumlah besar. Pasar akan kebanjiran rupiah dan tentunya nilai rupiah akan anjlok. Para spekulan meraup keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual. Makin besar selisihnya, makin menarik bagi para spekulan untuk bermain.

Kesadaran ekonom dan negara maju
Sebenarnya, sebagian pakar ekonomi dunia telah menyadari kerapuhan sistem moneter kapitalisme seperti itu. Teori Bubble growth dan random walk telah memberikan penjelasan yang meyakinkan tentang bahaya transaksi maya (bisnis dan spekulasi mata uang dan bisnis (spekulasi) saham di pasar modal).
Pelarangan riba yang secara tegas terdapat dalam Al-Qur’an (QS: 2 :275-279), pada hakikatnya merupakan pelarangan terhadap transaksi maya atau derivatif . Firman Allah, “Allah menghalalkan jual-beli (sektor riel) dan mengharamkan riba (tranksaksi maya)”.
Dalam transaksi maya, tidak ada sektor riel (barang dan jasa) yang diperjualbelikan. Mereka hanya memperjualbelikan kertas berharga dan mata uang untuk tujuan spekulasi. Tambahan (gain) yang diperoleh dari jual beli itu termasuk kepada riba, karena gain itu diperoleh bighairi wadhin, yakni tanpa ada sektor riel yang dipertukarkan, kecuali mata uang itu sendiri.
Para pemimpin negara-negara G7 pun, telah menyadari bahaya dan keburukan transaksi maya dalam perekonomian. Pada tahun 1998 mereka menyepakati bahwa perlu adanya pengaturan di pasar uang sehingga tidak menimbulkan krisis yang berkepanjangan. Jadi, bila negara-negara G7 telah menyadari bahaya transaksi maya, mengapa Indonesia masih belum melihat dampak negatifnya bagi perekonomian dan segera mendorong konsep dan blueprint ekonomi Islam..
Selanjutnya, untuk meminimalisir kegiatan spekulasi dan bubble economy para ekonom Barat mengusulkan untuk mengetatkan regulasi investasi. Ben Bernake, Chairman of Federal Reserve bahkan sampai meminta kepada konggres AS untuk menyetujui penambahan regulasi bagi bank investasi agar tidak terjadi spekulasi yang berlebihan di pasar aset keuangan. Pendapat senada juga diutarakan oleh Direktur IMF Strauss-Kahn mengenai perlunya penambahan aturan dan transparansi untuk menghidari krisis yang lebih parah. Meskipun kedua pernyataan ini terdengar berlawanan dengan semangat kapitalisme AS, namun akhirnya sebagian ekonom dan pengamat pasar keuangan sepakat bahwa liberalisasi pasar keuangan cenderung mendorong kepada ketidakstabilan ekonomi.
Penutup
Akar krisis keuangan global yang terjadi saat ini adalah praktik riba, maysir, dan gharar yang menjadi fenomena kapitalisme baik di pasar uang maupun pasar modal. Ekonomi kapitalisme yang tidak memisahkan sektor moneter dan riil berakibat pada penciptaan bubble economy yang sangat rawan menimbulkan krisis. Sedangkan ekonomi syariah tidak memisahkan sektor moneter dan sektor riel.
Ekonomi syariah mendorong adanya standarisasi currency internasional yang tidak lagi berbasis fiat money, tetapi emas dan perak. Emas dan perak dalam ekonomi Islam adalah hakim yang adil yang akan mengurangi spekulasi, akan mewujudkan tingkat stabilitas keuangan dan menekan inflasi secara signifikan.
Diserukan kepada para pemimpin dunia, para pakar ekonomi dan praktisi ekonomi keuangan dunia, untuk tidak meneruskan kegiatan ekonomi spekulasi, gharar dan riba baik di money market maupun capital market, Jika praktik itu masih terus dijalankan, maka krisis demi krisis pasti akan terjadi secara terus menerus.
Pemerintah diharapkan lebih akomodatif terhadap ekonomi syariah, karena ekonomi syariah memiliki konsep yang unggul dalam mewujudkan kesejahteraan, stabilitas ekonomi, dan inflasi. Selama ini sudah memang ada perbankan dan LKS, namun dalam skala yang lebih luas dan makro, pemerintah belum menjadikan ekonomi syariah sebagai sistem ekonomi andalan. Jika Indonesia masih berkiblat ke Barat yang memiliki sistem ekonomi yang rapuh, maka yakinlah Indonesia pasti akan terancam krisis terus-menerus sepanjang sejarah.
Konkritnya, pemerintah jangan setengah hati menerapkan bank-bank syariah, asuransi syariah, surat berharga syariah negara, pasar modal syariah, leasing, pegadaian syariah dan lembaga keuangan mikro syariah yang pro kepada sektor riil dan kemaslahatan ekonomi rakyat. Dengan krisis ini sesungguhnya Allah hendak mengingatkan betapa sistem ribawi itu ternyata merusak dan menghancurkan perekonomian umat manusia. Inilah makna firman Allah Luyuziiqahum ba’dhal lazi ‘amiluu la’allahum yarj’iuun. (QS.30 : 41) Maksudnya, krisis itu Kami timpakan kepada mereka (akibat ulah tangan mereka), supaya mereka kembali kepada sistem yang benar, sebuah sistem ilahiyah yang berasal dari Tuhan Allah. Itulah ekonomi syariah. Allahu Akbar
Dalam pengimplementasian keseluruhan langkah strategis diatas sangatlah dituntut komitmen, kerjasama sinergis, dan keyakinan dari seluruh stakeholder perbankan syariah untuk terus menjadikan bank syariah betul-betul menjadi bank terbaik pilihan masyarakat di tengah-tengah persaingan perbankan yang semakin kompetitif dan krisis ekonomi global sehingga betul-betul dapat menjadi rahmatan lil-alamin dan dapat menjadi pilar utama kegiatan ekonomi nasional. Amien

Nasrun minallah wa fath qarib

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 31 Juli 2008

SISTEM KEUANGAN ISLAM
SEBUAH ALTERNATIF

oleh : Amrullah Nangolah (Direktur BPRS Lampung Utara/Dosen Prodi Ekonomi Islam)
MESKIPUN usianya masih sangat belia dibandingkan dengan sistem keuangan konvensional yang berlaku di dunia, sistem keuangan Islam tampak begitu cepat berkembang dan tumbuh. Jika kita melihat pendirian Islamic Development Bank yang diprakarsai oleh dunia Islam pada tahun 1975 sebagai tonggak lahirnya sistem keuangan secara empiris, dalam rentang waktu 30 tahun kemudian sistem ini telah menunjukkan percepatan perkembangan yang cukup bagus. Kini telah berdiri lebih dari 200 lembaga keuangan dan investasi Islam. Sebagian lembaga-lembaga ini beroperasi secara nasional (domestik), sebagian beroperasi secara regional, dan sebagian lainnya secara internasional. Perkembangan ini tidak saja berada pada wilayah geografis dunia Islam, tetapi juga telah merambah ke dunia lain baik di Timur maupun di Barat.



Kini, setelah melakukan perjalanannya selama tiga dasawarsa, sistem keuangan Islam telah menarik perhatian para bankir Barat terutama di Eropa. Metode pembiayaan Islam telah dipandang sebagai suatu tantangan sekaligus peluang bagi mereka yang berkecimpung dalam bisnis keuangan modern di Barat. Hal ini dimungkinkan terutama oleh adanya fenomena masyarakat industri yang didorong oleh tuntutan klien (client driven societies) dalam nuansa bisnis modern.
Dalam masyarakat demikian selalu timbul kesediaan dari pihak pengelola lembaga keuangan untuk senantiasa mendengarkan dan terus mempelajari perkembangan dan pengalaman bank-bank Islam yang diperkirakan akan menjadi sebuah tren baru di blantika sistem keuangan dunia. Menurut Prof. Rodney Wilson, ketua Departement of Economics, Universitas Durham, Inggris, dalam satu artikelnya dalam jurnal “Islamic Economic Studies” edisi Oktober 1999 dan April 2000, kini sudah ada sembilan lembaga keuangan multinasional yang membuka unit usaha syariahnya di London. Sembilan lembaga keuangan internasional itu adalah ANZ International, Al-Rajhi Banking, Citibank International, Dresdner Klienwort Benson, Hong Kong & Shanghai Banking Corporation, National Commercial bank, Riyadh Bank Europe, Standard Chartered Bank dan United Bank of Kuwait. Diperkirakan akan terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang lebih besar di masa yang akan datang sekalipun perkembangan itu mungkin agak terbatas.
Di samping itu para pakar ekonomi, keuangan dan moneter Islam seperti Prof. Dr. M. Umer Chapra, Dr. Mabid al-Jarhi, Dr. Anas Zarqa, dan Prof. Dr. M. Nejatullah Siddiqi juga sering diminta untuk memberikan ceramah tentang hakikat ekonomi Islam, perbankan, moneter, keuangan, dan asuransi Islam di lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan Bank Sentral Inggris. Dorongan untuk mengkaji sistem keuangan Islam secara umum terus meningkat tidak saja pada tingkat bisnis empiris, tetapi juga pada tingkat akademis dan kesarjanaan. Kini makin banyak lembaga pendidikan tinggi di Barat yang menawarkan program studi ekonomi dan keuangan Islam seperti Loughborough University dan University of Durham di Inggris.
Hal ini menunjukkan dengan tegas bahwa keuangan Islam memiliki fondasi filosofis dan rasional secara ilmiah sangat kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Jika di Eropa terjadi peningkatan jumlah lembaga keuangan yang membuka unit usaha syariahnya, di Indonesia juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Di samping itu masih ada puluhan BPR Syariah dan ribuan BMT yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Sistem keuangan nonriba dalam lintasan sejarah
Sebenarya bukan agama Islam saja yang tegas melarang bunga (riba). Agama-agama samawi utama yang lain seperti Yahudi dan Nasrani juga melarang. Bibel melarang tegas praktik pemberian utang atau pinjaman dengan mengutip bunga bahkan tidak membedakan antara bunga (interest) dan bunga dengan tingkatan yang kelewat tinggi (usury). Perjanjian Lama juga melarang dengan tegas praktik bunga dalam pinjam meminjam dan utang berutang. Kitab suci terakhir yang diturunkan yaitu AlQuran dengan sangat gamblang melarangnya. Pelarangan ini melalui empat tahapan penurunan wahyu. Rangkaian tahapan terakhir adalah tercantum dalam surat al-Baqarah : 275 - 281. Menurut Syekh Muhammad Ali Ashobuni dalam tafsirnya, “Shofwatut Tafasir”, (Vol. 1 : 159 ) ayat 281 dari surat al-Baqarah ini merupakan ayat terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw. sekaligus sebagai penutup pengharaman tegas tentang masalah riba (bunga). Pendapat demikian juga dikemukakan oleh penafsir ulung Ibnu Katsir dalam tafsirnya “Tafsir Qur’anil Adhim” yang tersohor itu. Pertanyaan yang muncul adalah kenapa larangan ini begitu keras dan adakah alasan filosofis yang kuat di balik pengharaman dan pelarangan ini?
Barangkali ada sebagian sarjana yang mencoba memberikan penjelasan bahwa pelarangan pengambilan bunga (riba) pada masa Rasulullah saw. terjadi karena pengambilan bunga menimbulkan ketidakadilan yang begitu besar kepada mereka yang meminjam atau berutang. Mereka berpendapat bahwa para peminjam dan pengutang ini pada umumnya adalah orang-orang miskin yang melakukan pinjaman semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri. Oleh karena itu, pinjaman dengan beban kembalian berbunga merupakan bentuk eksploitasi yang sangat bertentangan dengan prinsip keadilan. Namun, lanjut argumentasi mereka, sistem perbankan konvensional modern tidak mengandung eksploitasi demikian. Karena yang meminjam pada umumnya adalah dunia usaha dan bukan orang-orang miskin, pengembalian berbunga pada transaksi pinjaman demikian dinilai sebagai suatu kewajaraan dan tidak bertentangan dengan prinsip keadilan yang mana pun.
Namun, pendapat demikian tidaklah didukung oleh bukti-bukti sejarah. Prof. Dr. Muammad Abu Zahrah membantah pendapat ini dalam bukunya “Buhuts Fir Riba” dengan menyatakan bahwa dugaan yang justru memiliki bukti sejarah adalah pinjaman yang tujuannya untuk investasi dan produksi dan bukan untuk konsumsi kebutuhan pokok. Hal ini didasarkan pada corak kehidupan bangsa Arab yang primitif lagi bersahaja. Kehidupan mereka bukanlah suatu corak kehidupan yang luas sehingga memerlukan kebutuhan-kebutuhan yang banyak. Makanan mereka adalah kurma dan susu serta daging. Tiap-tiap orang, baik yang kaya maupun yang miskin, mengonsumsi jenis makanan pokok ini. Barang siapa yang suatu saat tidak memilikinya, ia akan mendapatkan “kemurahan tradisional” Arab dan akan segera dipenuhi kebutuhannya itu oleh tetangganya, saudaranya atau sahabat-sahabatnya.
Pada zaman Nabi saw., mereka mendapatkan pemenuhan kebutuhan ini lewat Baitul Maal, maka sukar dinalar bagaimana orang-orang miskin itu berutang hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan pokoknya dengan dibebani pengembalian berbunga. Di samping itu letak geografis Kota Makah telah menyebabkan penduduk Qurasy menjadi pedagang-pedangan yang ulung. Bangsa Qurasy ini berperan penting dalam proses perdagangan internasional dengan memperdagangkan komoditas dari Parsi dan Romawi. Kafilah-kafilah dagang ini memiliki rombongan yang sangat banyak dan didanai lewat mudharabah (pola bagi hasil) atau pinjaman yang berbunga. Pinjaman yang berbunga inilah yang indikasikan oleh seluruh ayat-ayat riba dalam Al Quran.
“Mudharabah” dan “musyarakah”
Dengan demikian, jenis pembiayaan yang paling sering dipakai oleh kaum Muslim dalam perjalanan sejarah mereka adalah mudharabah dan musyarakah (partnership). Mudharabah adalah suatu bentuk perkongsian dengan salah satu pihak bertindak sebagai financier (penyedia dana finansial), sedangkan pihak yang lain menyediakan jasa keusahaan (entrepreneurship). Pada posisi demikian, sang financier bukanlah bertindak sebagai pemberi pinjaman dana (lender atau creditor), melainkan sebagai investor yang akan menyumbangkan dana finansial itu untuk tujuan-tujuan produktif. Sebaliknya, sang pengelola dana akan bertindak sebagai entrepreneur (fund manager) dan bukan sebagai debitor. Hubungan yang terjalin di antara kedua belah pihak merupakan suatu hubungan kemitraan dan kerja sama dan bukan layaknya hubungan yang terjadi dalam transaksi pinjam-meminjam. Keuntungan dari usaha ini akan dibagi dua berdasarkan proporsi yang disepakai oleh kedua belah pihak. Namun, jika terjadi kerugian, sang financier yang akan mendapatkan kerugian, sedangkan pengelola dana akan kehilangan tenaga dan waktunya.
Dalam musyarakah sang financier terlibat langsung terhadap proses kegiatan bisnis. Ia berbeda dari mudharabah karena dalam mudharabah sang financier adalah seorang mitra tidur (sleeping partner). Jika terjadi kerugian, kerugian itu akan dihitung proporsional terhadap modal yang telah disetor dalam perkongsian ini. Jika terjadi keuntungan, maka akan dibagikan berdasarkan proporsi yang telah disepakati di depan. Liabilitas sang financier akan terbatas hanya pada jumlah pembiayaan yang diberikan dalam usaha ini.
Sekalipun Islam melarang transaksi berbasis bunga dan menggalakkan penyertaan modal sendiri (equity financing), Islam tidak mengharamkan kredit secara umum. Islam membolehkan penyaluran kredit yang langsung berhubungan dengan pembelian barang dan jasa. Ini dapat kita lihat dalam jual beli, murabahah, salam, dan istihna’. Murabahah merupakan suatu perjanjian penjualan dengan penjual membelikan suatu barang yang dibutuhkan oleh pembeli kemudian menjualnya kepada pembeli dengan suatu margin keuntungan yang disepakati. Pembayaran dapat dilakukan lewat cicilan maupun lump sum. Dalam jual beli salam, pembelian dengan penyetoran seluruh harga dilakukan di depan, sedangkan barang yang dipesan akan diantarkan di masa yang akan datang. Sementara istishna’ adalah suatu perjanjian penjualan ketika seorang kontraktor menyepakati untuk memproduksi atau membangun dan mengantarkan suatu barang tertentu yang dipesan dengan suatu harga yang telah disepakati dengan pihak pemesan. Pembayaran dapat diberikan lewat cicilan atau sesuai dengan kemajuan pembuatan barang yang dipesan.
Di samping itu ada juga moda yang lain seperti ijarah (leasing). Kesemua moda ini dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan kegiatan bisnis pada masa itu dan dapat juga dipergunakan secara luas dalam kegiatan bisnis modern.
Banyak sarjana dan peneliti non-Muslim yang membuktikan bahwa perdagangan internasional yang dilakukan oleh kaum Muslim pada masa kejayaan mereka umumnya dimotori oleh pembiayaan mudharabah dan musyarakah. Hampir di seluruh bidang industri telah memakai moda ini termasuk dalam pembiayaan pertanian, kerajinan, industri olahan dan perdagangan luar negeri baik antar-Muslim maupun dengan mereka yang non-Muslim seperti Yahudi dan Nasrani. Begitu luasnya penggunaan moda pembiayaan ini dalam memobilisasi modal dan mudahnya akses bagi dunia usaha maka terjadilah pertumbuhan ekonomi yang begitu cepat dan besar dalam perekonomian dunia Islam. Di samping itu pola ini telah mendorong lebih jauh perdagangan internasional mulai dari Maroko dan Spanyol di Barat sampai ke India, Cina, dan Asia Tengah di Timur. Ini tidak hanya direkam oleh data sejarah yang dapat ditemukan di perpustakaan-perpustakaan, tetapi juga oleh kenyataan ditemukannya mata uang Islam di berbagai belahan dunia seperti di Rusia, Finlandia, Swedia, Norwegia, dan Inggris.
Tujuan-tujuan utama makroekonomi
Sebelum kedatangan Islam dalam sejarah, sumber-sumber daya finansial dimobilisasi lewat cara-cara berbasis bunga. Ini tidak dapat diterima oleh Islam karena kezaliman dan ketidakadilan yang ditimbulkannya. Dalam moda-moda berbasis bunga, jika terjadi kerugian maka pihak pengelola dana (debitor) yang harus menerima beban kerugian ini sekalipun ia telah berusaha semaksimal mungkin dengan mengerahkan seluruh daya upayanya untuk meraih yang terbaik. Sementara kreditor yang tidak bekerja apa pun, selain mengulurkan dana, mendapatkan laju kembalian positif dengan mengabaikan hasil akhir aktivitas bisnis yang dikelola oleh debitor. Oleh karena itulah Islam datang dengan menghapuskan moda berbasis bunga ini dengan menggantikan yang lebih baik dan adil lewat moda bagi hasil (profit and loss sharing). Sekalipun Islam menetapkan prioritas tinggi terhadap usaha-usaha membantu meringankan beban kaum miskin, alasan itu bukanlah penyebab dilarangnya bunga dalam kegiatan ekonomi. Alasan yang paling masuk akal adalah bahwa Islam ingin menegakkan suatu sistem perekonomian dengan keadilan sosioekonomi dapat benar-benar ditegakkan karena keadilan merupakan salah satu tujuan yang diperjuangkan oleh Risalah penutup yaitu Muhammad saw. Jika kita melihat tujuan-tujuan utama yang yang hendak dicapai oleh ekonomi makro seperti pemenuhan kebutuhan pokok, kesempatan kerja penuh, distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil, stabilitas ekonomi sulit rasanya dapat dicapai secara efektif jika perekonomian tetap menggunakan moda-moda berbasis bunga. Dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi semua penduduk, moda-moda berbasis bunga hanya akan menguntungkan pihak yang kaya saja; yang miskin tidak mungkin dapat memperoleh kredit.
Hal ini disebabkan oleh dalam transaksi pinjam-meminjam disyaratkan adanya kolateral dan hanya mereka yang mampu memberikan jaminan semacam itulah yang akan memperoleh kredit. Adapun orang-orang miskin yang datang untuk meminjam dengan tujuan konsumsi kebutuhan pokok sulit dinalar untuk dapat memberikan kolateralnya. Oleh karena itu akan terjadi mis alokasi sumber-sumber daya dalam ekonomi.
Praktik pembiayaan berbasis bunga ini akan terus melanggengkan ketidakadilan ekonomi dalam masyarakat. Ia akan mempertahankan tingkat kesenjangan ekonomi dan kekayaan karena mis alokasi dana dalam penyaluran kredit. Yang kaya akan bertambah kaya dan yang miskin akan tetap tidak mendapatkan akses kepada sumber-sumber daya keuangan untuk berjuang membebaskan beban kemiskinannya.
Masa depan yang cemerlang
Meskipun perjalanan dan perkembangan sistem keuangan Islam banyak mendapatkan hambatan, gerakan islamisasi perbankan dan keuangan tetap berjalan dengan istikamah karena gerakan ini memiliki landasan dan pondasi yang kuat. Kemajuan yang terjadi selama tiga dekade ini semakin meyakinkan. Makin banyak orang yang terlibat dalam gerakan ini dan mereka pada umumnya adalah para ahli yang mahir di bidang keuangan dan ekonomi Islam. Mereka terus berusaha untuk menyingkirkan dan menghapuskan kesulitan-kesulitan yang ada. Mereka tidak pernah berhenti untuk berpikir dan mengajukan solusi bagi perbaikan performance sistem keuangan Islam modern. Oleh karena itu tidak ada keraguan lagi bahwa gerakan ini tidak saja akan mampu mengatasi kesulitan-kesuitannya, tetapi akan mampu menjamin masa depannya yang cemerlang. Wallau a’lam bisshawab.***

[+/-] Selengkapnya...

Minggu, 20 Juli 2008

Lab Bank Mini


Cust service

Backoffice merangkap tempat mahasiswa mempelajari software perbankan
















Front office 1


Front office2


[+/-] Selengkapnya...

Praktikum Prodi Ekonomi Islam

Perubahan lingkungan luar dunia pendidikan, mulai lingkungan sosial, ekonomi, teknologi, sampai politik mengharuskan dunia pendidikan memikirkan kembali bagaimana perubahan tersebut mempengaruhinya sebagai sebuah institusi sosial dan bagaimana harus berinteraksi dengan perubahan tersebut. Salah satu perubahan lingkungan yang sangat mempengaruhi dunia pendidikan adalah hadirnya teknologi informasi (TI) dalam hal ini perkembangan internet yang luar biasa cepat. Internet telah menghadirkan media baru dalam penyebaran informasi, yaitu media digital. Media ini pun telah mengubah pola pikir manusia yang merupakan respon terhadap kemasan informasi. Contoh perubahan pola pikir tersebut adalah lahirnya e-mail yang mengubah cara berkirim surat, e-business atau e-commerce yang telah mengubah cara berbisnis dengan segala turunannya, termasuk e-cash atau e-money. E-government telah membuka babak baru pengelolaan pemerintahan dan mekanisme hubungan antara pemerintah, dunia bisnis, dan masyarakat. E-learning menawarkan cakrawala baru proses belajar-mengajar.
Perubahan-perubahan tersebut terus berlangsung dan dalam beberapa bidang sudah mulai mapan, terutama di negara-negara maju. Dan fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan sebagai institusi pendidikan yang sangat berkompeten dalam menciptakan sumberdaya manusia yang unggul harus merespon perkembangan-perkembangan tersebut dengan jalan mengadakan praktikum komputer internet yang akan memberi bekal kepada mahasiswa bagaimana menggunakan media internet sebagai sarana pendukung dalam proses belajar mengajar, sarana berinteraksi sosial dan menggunakannya sebagai sumber penelitian.

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 17 September 2007

Telah dibuka Prodi Ekonomi Islam IAIN Raden Intan Bandar Lampung

Fakultas Syari'ah IAIN Raden Intan Bandar Lampung telah membuka Prodi Ekonomi Islam mulai tahun akademik 2006/2007 dan telah mendapat pengesahan melaui SK Dirjen Pendidikan Islam Depag RI No. Dj.I/178/2007 tanggal 20 April 2007.
Sampai dengan saat ini (semester III) jumlah mahasiswa yang aktif mengikuti perkuliahan berjumlah 160 orang.
Prodi Ekonomi Islam membuka dua konsentrasi yaitu konsentrasi ekonomi dan studi pembangunan dan konsentrasi keuangan dan perbankan syari'ah.

[+/-] Selengkapnya...